Sewaktu menjelang tahun ajaran baru di bulan Juli kemarin, euforia penerimaan peserta didik baru (PPDB) menggaung dimana-mana, pun di madrasah tempat saya mengajar. Para pendaftar berdatangan dari berbagai daerah dan sekolah atau madrasah asalnya.
Salah satu pendaftar ke madrasah kami adalah seorang anak laki-laki dari sebuah SMP Negeri di Kota Sukabumi. Ketika anak Kabupaten ingin sekolah ke Kota, ia malah sebaliknya, dari kota sekolah ke Kabupaten. Ternyata salah satu alasannya adalah ia ingin sekolah sembari mencari ilmu di pondok pesantren.
Madrasah kami baru memiliki pondok pesantren untuk putri saja, sehingga setiap calon siswa putra direkomendasikan untuk mondok di pesantren-pesantren putra yang berdekatan dengan madrasah. Kebetulan ada beberapa pesantren yang dekat lokasinya dengan madrasah. Akhirnya si calon siswa ini dengan keluarganya menyepakati untuk sekolah di madrasah dan mondok di pesantren yang paling terdekat dengan madrasah.
3 Hal Yang Membuat Kaget Tinggal di Pesantren Tradisional
Selang dua minggu kemudian, kami para guru di madrasah menerima informasi bahwa siswa yang baru diterima tersebut tidak melanjutkan tinggal di asrama pesantren, malah lebih memilih untuk pulang pergi tiap hari antar kota-kabupaten yang jaraknya bisa dikatakan tidak dekat.
Ketika ditanyakan apa yang menjadi alasan ia tidak melanjutkan mesantrennya, ia mengatakan bahwa ia sangat terkejut dengan kebiasaan-kebiasaan atau cara hidup para santri di pesantren dan beberapa diantaranya tidak bisa ia tolerir.
Beberapa kejadian yang dialami sang santri yang menyebabkan ia akhirnya mundur dari dunia pesantren yang dulu ia cita-citakan itu adalah:
Santri Banyak Yang Berambut Gondrong.
Entah dari mana dan siapa yang memulainya, namun memang saat ini banyak santri putra di beberapa pesantren tradisional yang membiarkan rambutnya memanjang. Bahkan saya sendiri pun sempat terkaget-kaget ketika pernah melewati sebuah pesantren putra dan melihat penampakan para santrinya yang banyak berambut panjang.
Si siswa baru yang berasal dari sebuah SMP Negeri dan terbiasa dengan kerapihannya, termasuk dalam masalah rambut tentu saja merasa kaget dengan teman-teman sejawatnya di pesantren yang berambut gondrong.
Santri Terbiasa Dengan Rokok
Kalau masalah merokok di pesantren tradisional memang sudah lumrah sekali. Saya pun yang pernah merasakan tinggal di asrama pesantren merasakan betul bagaimana terintimidasinya para santri minoritas yang tidak merokok, mulai dari disebut cemen sampai disebut banci.
Bayangkan saja, untuk orang yang tidak terbiasa merokok kemudian satu kamar dengan orang-orang yang terbiasa mengebulkan asap dari mulutnya hasil isapan rokok, tentu akan sangat tidak nyaman sekali. Beberapa mungkin bisa beradaptasi, bahkan ikut menjadi perokok aktif, tapi untuk yang memegang teguh prinsip untuk tidak merokok, pilihannya tetap bertahan atau meninggalkan.
Antar Santri Memakai Satu Barang Bersama-sama
Hal terakhir ini yang tak dapat ditolerir oleh sang siswa baru. Ia mengatakan sudah banyak barang-barangnya yang hilang entah kemana karena dipakai oleh teman-eman santrinya, mulai dari sandal, sarung, baju, sorban, bahkan peci, raib begitu saja.
Beberapa barang ia tahu dipinjam oleh temannya namun sayang tak pernah kembali, beberapa yang lain bahkan ia tak bisa mentolerirnya karena dipakai oleh teman santrinya tanpa izin dan tanpa sepengetahuannya. Tentu saja ia marah dengan hal seperti itu dan ia sudah tak tahan lagi sampai akhirnya memutuskan untuk mundur dari pesantren.
Pesantren Tradisional Versus Pesantren Modern
Kita biasa menyebut pesantren-pesantren yang berada di perkampungan dengan sebutan pesantren tradisional, walaupun sebenarnya ada juga pesantren di perkotaan yang menggunakan kurikulum tradisional. Yang dimaksud dengan pesantren tradisional adalah pesantren salafi yang metode mengajinya masih berpegang teguh pada cara turun temurun dengan melogat kitab kuning. Jangan ditanya masalah biayanya, karena para ulama di kampung biasanya tidak pernah memberi tarif bayaran untuk mondok di pesantren.
Adanya istilah pesantren tradisional ini karena hadirnya frase pesantren modern di akhir-akhir ini. Pesantren modern biasanya adalah pesantren dengan bangunan megah kekinian, pola mengajinya tidak berfokus hanya pada kitab kuning saja, dan biasanya biaya di pesantren modern hanya bisa dijangkau oleh masyarakat kelas menengah ke atas.
pada sistem pengelolaan pesantren, baik yang modern ataupun tradisional, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri. Setiap orang tua atau anak yang akan menempuh pendidikan di pesantren, seyogianya menilik secara seksama jenis pesantren mana yang sekiranya sesuai dengan keinginan.
Simpulan
Pondok pesantren adalah lembaga yang sampai saat ini masih konsisten dengan visi misinya untuk melahirkan generasi-generasi pewaris ilmu para Nabi, penerus para kiyai, dan mencetak umat Islam dengan kapasitas ilmu yang mumpuni. Maka pondok pesantren bisa menjadi salah satu wadah alternatif yang baik dalam belajar ilmu agama.
Untuk setiap anak dan atau orang tua yang berniat mencari pesantren untuk menimba ilmu agama, sejatinya mencari pesantren yang sejalan dengan prinsip dasar hidup kita. Lihat dulu bagaimana kondisi lingkungan di sekitarnya, kebersihan sanitasinya, kurikulum ajarannya, sampai tarif bayaran atau infak perbulannya. Semua layak dipertimbangkan agar ketika masuk pesantren sudah benar-benar haqul yakin dengan pilihannya, bukan malah membuat kaget diperjalan mondok di pesantren.
19 komentar
Kalau di kota, pesantren kekinian disebutnya boarding school. Beda banget sama yang tradisional katanya sih.
Tentu saja setiap orang punya value masing-masing dan memilih untuk mempertahankan value tersebut saya rasa tidak ada salahnya.
Semoga saja anak itu dimudahkan untuk memperdalam ilmu agamanya walaupun ia tak lagi belajar di pesantren.
Allahumma aammiin.
Posting Komentar